Kebijakan Pangan Sehat Perlu Transparansi Bukan Sekadar Retorika

Kondisi kesehatan masyarakat Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius, terutama dengan meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular (PTM) yang berkaitan erat dengan pola konsumsi, termasuk konsumsi Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK). Dalam situasi ini, negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin ketersediaan pangan yang sehat sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi setiap warga negara, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Kebijakan publik memegang peranan sentral sebagai instrumen rekayasa sosial, atau tools of social engineering, sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound, seorang filsuf hukum yang menekankan bahwa hukum harus menjadi alat untuk mencapai keadilan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan pangan dan pelabelan gizi bukan hanya sekadar peraturan administratif, melainkan alat negara untuk membentuk perilaku masyarakat menuju pola hidup sehat.

Oleh karena itu, pembentukan setiap kebijakan publik harus dilandasi dengan kajian ilmiah yang transparan, terukur, serta disusun melalui proses yang partisipatif dan akuntabel. Namun hingga hari ini, transparansi dalam kebijakan publik khususnya yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih menjadi pertanyaan besar.

Salah satu contohnya adalah kebijakan label “Pilihan Lebih Sehat” yang diterapkan pada pangan olahan. Meski kebijakan ini diklaim sebagai bentuk perlindungan konsumen, BPOM belum juga membuka data kajian ilmiah yang menjadi dasar penerapannya. Padahal, label tersebut akan membentuk perilaku konsumsi masyarakat secara langsung.

Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia telah enam kali menyampaikan masukan tertulis dan revisi terhadap rancangan peraturan BPOM tersebut. Di dalamnya tercantum rekomendasi penerapan label peringatan (warning label), yang secara global terbukti lebih efektif dalam menginformasikan risiko produk pangan kepada konsumen. Namun hingga saat ini, tidak ada kejelasan mengapa BPOM belum memberikan tanggapan maupun membuka akses terhadap kajian ilmiah yang digunakan sebagai dasar kebijakan tersebut.

Ketertutupan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pemerintah, melalui BPOM, sedang mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pembentukan kebijakan publik? Padahal, keterbukaan informasi adalah prasyarat utama dalam menjamin kepercayaan publik serta efektivitas kebijakan itu sendiri.

FAKTA Indonesia kembali menegaskan bahwa masyarakat berhak mengetahui dasar dari setiap kebijakan yang berdampak langsung pada hak hidup dan kesehatannya. Pemerintah, dalam hal ini BPOM, harus hadir sebagai lembaga yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya pada prosedur administratif semata.

Alicia Helena
Jakarta, 8 Juli 2025