Awal bulan April 2025 lalu saya mendapat informasi dari seorang kawan wartawan tentang kejadian bejat di sebuah sekolah dasar di Depok, Jawa Barat. Sekolah tersebut adalah sekolah yabg memakai label Katolik dan bernama SD Bunda Maria. Seorang guru di SD tersebut melalukan perbuatan cabul atau kekerasan seksual muridnya kelas dua hingga kelas enam. Kekerasan seksual tersebut dilakukan sejak bulan Agustus 2024 hingga bukan Maret 2025 terhadap 14 siswi. Awalnya pada tahun 1015 kasus bejat si guru pernah terungkap melakukan kekerasan seksual pada 14 muridnya. Ketika itu pihak sekolah menutup kasus dengan melakukan mediasi antara orang tua korban dengan si guru. Sempat juga si guru membuat pernyataan tetapi kejadian bejat terulang lagi. Saat ini pun pihak sekolah diam, menutup mata dan si guru tetap aktif mengajar. Padahal untuk kekerasan seksual terhadap anak harus dilaporkan kepada polisi dan tidak boleh diselesaikan dengan mediasi. Pihak sekolah pun bisa dihukum pidana karena dianggap ikut serta, bahkan menutupi kasus kekerasan seksual terhadap anak di sekolahnya. Perilaku guru dan pengelola sekolah dasar (SD) Bunda Maria Depok ini membuat Bunda Maria Ternoda Di Depok.
Perbuatan bejat, melakukan kekerasan seksual terhadap anak di lembaga agama Katolik di Depok oleh guru atau pembimbingnya. Sebelumnya pernah terjadi di Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani dan Gereja Katolik Paroki Herkulanus di kota Depok. Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani (KBR) Depok oleh pembinanya Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo terhadap setidaknya enam anak binaan Panti Asuhan KBR. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok pada tanggal 20 Januari 2022 menghukum 14 tahun penjara dan den denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan kepada bruder Angelo.
Kasus lainnya adalah kekerasan seksual terhadap anak di Gereja Katolik Paroki Herkulanus Depok. Kasus yang sudah sangat lama, lebih dari 10 tahun dilakukan oleh SPM (42 tahun) terhadap anak-anak Misdinar atau Putra Altar di gereja Herkulanus. Aksi bejat SPM itu baru terbongkar pada bulan Mei 2020. Setidaknya ada 26 anak yang mengaju sebagai korban SPM dan ada 4 anak yang menjadi korban mau melaporkan ke Kepolisian. Akhirnya pada 6 Januari 2021 SPM oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok dan Mahkamah Agung menghukum 15 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan Restitusi kepada kedua korban sebesar Rp 18 juta.
Memang yang terungkap baru ada tiga kasus kekerasan seksual terhadap anak di lembaga gereja Katolik. Sudah ada dua kasus terdahulu di Panti Asuhan KBR dan Paroki Herkulanus hingga tahun 2022, masih terjadi lagi SD Bunda Maria Depok. Korbannya sangat banyak pengungkapan pertama tahun 2024 ada 14 anak dan pengungkapan kedua ada 16 anak . Diberitakan oleh media masa bahwa ada seorang guru SD di Depok diduga melakukan pelecehan seksual terhadap 16 siswi. Insiden pertama terjadi pada Agustus 2024 yang melibatkan 14 siswi kelas 6. Terduga pelaku disebut kerap menyentuh area sensitif tubuh para korban. Kejadian serupa terjadi pada Februari 2025 yang korbannya berasal dari siswi kelas 2. Tetapi
Plt Komite SD Bunda Maria, Tri mengatakan yang terjadi adalah gestur menepuk bahu pada murid. Dikatakan juga oleh Tri mengatakan sanksi tersebut berupa skors tidak boleh mengajar di sekolah dan kasus sudah ditutup.
Ada perbedaan pengakuan dalam kasus ini yakni korban mengatakan terduga pelaku kerap menyentuh area sensitif tubuh para korban. Sementara Plt Komite SD, Tri mengatakan hanya gestur menepuk bahu pada murid dan kasus sudah ditutup. Pertanyaannya adalah korban begitu banyak dan pengajuan sama? Mengapa pula sekolah segera menutup kasus tersebut? Seharusnya pihak sekolah setelah mendengar pengakuan dan pengaduan anak-anak korban melaporkan terduga pelaku ke Kepolisian untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jika kasus sudah dilaporkan maka dilakukan pemeriksaan di Kejaksaan serta di Pengadilan Negeri. Menurut UU No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak itu tidak boleh diselesaikan dengan cara perdamaian internal harus dilaporkan ke Polisi. Begitu pula menurut Pasal 4 ayat (2) UU TPKS menerangkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi:
a. Perkosaan;
b. Perbuatan cabul;
c. Persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak;
d. Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban;
e. Pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f. Pemaksaan pelacuran;
tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
g. Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
h. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan
i. Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada pasal 4 UU TPKS ayat (d) bisa jadi yang dilakukan guru SD Bunda Maria itu adalah tindakan kekerasan seksual yakni: d. Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban. Adanya laporan para korban menunjukan para korban tidak berkenan atas tindakan si guru. Untuk membuktikan dan menguji kebenarannya memang seharusnya kasus ini dilaporkan ke Kepolisian dan bukan ditutup begitu saja oleh pihak sekolah. Ada apa dan mengapa pihak sekolah menutup kasus dan tidak melaporkan terduga pelaku ke kepolisian? Tindakan menutup kasus ini menunjukan SD Bunda Maria Depok, membiarkan kasus, tidak ramah anak dan tidak melindungi anak muridnya sendiri. Adanya dugaan kasus kekerasan seksual terhadap anak di SD Bunda Maria ini membuat Bunda Maria Ternoda akibat ulah para gurunya.
Kita harus dukung para korban berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa mereka. Tidak mudah bagi para korban berani bicara dan melaporkan kasus dirinya menjadi korban kekerasan seksual. Apalagi jika korbannya itu masih anak-anak perlu dukungan khusus untuk melindungi mereka. Tidak seperti pengelola SD Bunda Maria Depok yang menutup dan tidak mendukung laporan anak-anak yang merupakan siswi dari SD Bunda Maria Depok. Apabila polisi dan aparat penegak hukum tegas dan memiliki perspektif korban maka akan membantu dan mendorong korban kekerasan seksual terhadap anak berani bicara dan melaporkan kasus yang dialami mereka. Para korban yang melaporkan kasusnya bukan hanya untuk kepentingan mereka tetapi itu adalah bagian dari para korban yang menjadi PEJUANG atau PENYINTAS bagi keselamatan hidup anak-anak lainnya. Menutup kasus kekerasan seksual terhadap anak tanpa dilaporkan ke Kepolisian itu berarti membungkam suara anak-anak yang menjadi korban dan menodai Bunda Maria Si Pejuang Anak-Anak.
Kasus ini pun sudah tersiar luas di media massa dan media sosial tetapi sampai sekarang pihak Kepolisian tidak juga bergerak memeriksa dan menyelidiki kasus kekerasan seksual terhadap anak siswi-siswi SD Bunda Maria Depok. Kasus kekerasan seksual terhadap anak, kepolisian tidak memerlukan atau menunggu adanya laporan dari korbannya. Kasus pelecahan seksual anak bukan merupakan delik aduan, namun delik biasa, sehingga tidak perlu menunggu adanya laporan korban. Sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU TPKS bahwa pelecehan seksual fisik terhadap anak bukan merupakan delik aduan. Seharusnya pihak kepolisian bersikap aktif begitu mendapat informasi adanya kasus atau kejadian kekerasan seksual terhadap anak. Ayo polisi tangkap dan periksa guru terduga pelaku kekerasan seksual terhadap anak, 20an siswi SD Bunda Maria Depok.
Jakarta, 13 Mei 2025
Dr. Azas Tigor Nainggolan, SH, MSi, MH.
Seorang Advokat di Jakarta