Masalah Ojek Online belum juga tuntas hingga sekarang. Ojek Online hanya jadi bahan diskusi, pencitraan politik serta upaya mengkapitalisasi kemiskinan – kesulitan hidup pengemudi ojek online. Beberapa waktu lalu beredar video tentang Rapat Kerja Komisi 5 DPR RI bersama Kementerian Perhubungan RI yang membahas bisnis ojek online. Seorang anggota DPR RI terlihat mempertanyakan dasar hukum dilakukan pemotongan pendapatan ojek online oleh aplikator. Tidak terdengar jawaban dari peserta Kementerian Perhubungan atas pertanyaan anggota DPR tersebut. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan seperti potongan Komisi Aplikasi, Biaya Penggunaan Aplikasi dan Biaya Keselamatan. “Apa dasar hukumnya potongan ini?” tanya di anggota DPR kepada tim Kementerian Perhubungan.
“Masalah ojek online ini pilihan hanya ada dari dua, yakni diatur atau dilarang? Sudah 15 tahun pemerintah membiarkan ojek online beroperasi di Indonesia tanpa aturan hukum atau belum ada pengakuan terhadap bisnis ojek online. Jadi kalo mau diakui maka segeralah dibuat aturan yang mengakui ojek online di Indonesia. Selagi sedang berlangsung proses revisi terhadap UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan maka segera atur dan masukan pengaturan terhadap keberadaan bisnis ojek online. Jika kita tidak mau mengakui ojek online maka segera larang keberadaan bisnis ojek online. Jangan kita membiarkan berlama-lama keberadaan ojek online tanpa aturan hukum. Indonesia ini negara hukum. Jadi kepastian hukum harus diutamakan mengatur kehidupan kita”, saya membuka diskusi pagi kemarin di Kementerian Perhubungan. Video itu beredar luas dan cepat ke publik dan membuat gentar pihak aplikator juga Kementerian Perhubungan.
Beredarnya video itu menjadi pembicaraan di kalangan pengamat serta penggiat isu transportasi. Saya sendiri di Minggu lalu mendapat undangan diskusi tentang bisnis ojek online dari salah satu aplikator dan Ditjen Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan Darat RI. Pada beberapa kawan yang juga hadir dalam kedua pertemuan itu saya katakan, “wah ini, ‘call a friend’ ya setelah ramai beredar video Rapat Kerja Komisi 5 dengan Kementerian Perhubungan”. Biasanya ketika sudah kesulitan menjawab maka ingat orang lain, kawan lain untuk membantu. Kondisi inilah yang terjadi, saya diajak diskusi oleh salah satu aplikator tentang bisnis ojek online yang dijalankan mereka. Saya juga baru saja menerbitkan buku hasil studi tentang Sistem Hukum Dan Bisnis Ojek Online pada bulan Pebruari 2025 lalu.
Dalam diskusi bersama aplikator itu hadir juga seorang profesor dan ahli ekonomi. Pembicaraan juga disertai pemaparan situasi bisnis ojek online dan pro kontra regulasi bisnis ojek online. Saya katakan bahwa bisnis ojek online sekarang ini liar tanpa ada dasar hukum. “Ojek online hingga saat ini tidak ada dasar hukum pengakuannya. Saat ini di perusahaan kami sudah terdaftar setidaknya ada 6 juta ojek online. Jika ingin menata dan memecahkan masalah ojek online perlu diatur dulu secara hukum keberadaan ojek online. Pengaturan hukum yang ada akan memberi otoritas kepada pemerintah untuk mengawasi bisnis ojek online agar bisa melindung kepentingan pengemudinya, penggunanya dan bisnis aplikatornya”, saya menyampaikan sikap saya.”Bisnis ojek online tidak perlu diatur, sudah kebanyakan peraturan. Bikin aturan baru malah menyulitkan”, sang profesor bersabda. “Kalo ojek online diatur maka akan membatasi dan mematikan kreatifitas berbisnis”, sang ekonomi bersabda. Tim aplikator juga tidak setuju jika bisnis ojek online diatur. “Pengaturan ojek online akan membuat kami mengangkat pengemudi ojek online menjadi karyawan. Situasi itu akan memberatkan kami. Sekarang ini secara keseluruhan bisnis perusahaan kami, bisnis ojek online kami alami kerugian”, jelas seorang tim aplikator.
Dalam diskusi bersama Kementerian Perhubungan juga membicarakan salah isinya tentang keberadaan dan masalah bisnis ojek online. Dalam penyampaian awan diskusi saya mengangkat isu agar pemerintah memilki sikap atau kebijakan terhadap ojek online. “Pemerintah sudah terlalu lama, setidaknya 10 tahun membiarkan keberadaan ojek online. Pilihannya hanya ada mengakui atau melarang ojek online. Jika ingin menata, maka harus ada kebijakan membuat aturan hukum Undang-Undang (UU) Lalu dan Angkutan Jalan (LLAJ) dan memasukkan keberadaan bisnis ojek online dalam Sistem Hukum Indonesia. Jika ojek online sudah masuk dalam Sistem Hukum maka sudah diakui secara hukum. Secara hukum pemerintah bisa mengawasi dan mengatur bisnis ojek online untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat. Kebetulan sekarang sedang berproses revisi UU LLAJ jadi bisa dimasukan aturan ojek online. Tapi jika ingin tidak mengakui maka mari kita larang ojek online dan tidak boleh ada di Indonesia.
“Saya tidak setuju ojek online diatur, itu bukan urusan Kementerian Perhubungan. Urusan hidup dan kesejahteraan driver ojek online urusan kementerian sosial”, sang pakar berteriak. “Tingkat kecelakaan sepeda motor sangat tinggi, jadi sepeda motor tidak layak menjadi alat transportasi umum”, sang dosen yang juga jadi pengamat menimpali. “Untuk keberadaan ojek online pilihan hanya dua yaitu DIBINA atau BINASAKAN? Jika mau dibina maka ojek online harus diatur. Tapi jika kita tidak mau BINA dan atur ojek online maka mari kita BINASAKAN ojek online”, jelas pengamat yang lain dalam diskusi.
Kesimpulan saya dari perkembangan pembahasan atau diskusi tentang ojek online ini, masih banyak orang yang tidak paham tugas dan tujuan hukum. Masih banyak, bahkan orang terdidik sekalipun tidak paham fungsi hukum. Orang terdidik sekalipun hanya pandai mencari celah hukum untuk mengamankan pelanggaran yang dilakukannya. Banyak juga orang pintar yang mengaku pakar atau pengamat transportasi justru ingin masalah ojek online berkepanjangan agar dia bisa mengkapitalisasi dari kekacauan bisnis ojek online tanpa aturan hukum.
Saya melihat bahwa anggota Komisi 5 DPR RI tidak paham tugas kewajibannya sebagai Legislator atau pembuat UU. Dalam Rapat Kerja dia terus menanyakan dasar hukum bisnis ojek online. Padahal keberadaan hukum atau UU adakah kewajiban si anggota DPR sebagai Legislator. Tapi kok anggota DPR yang bertugas sebagai Legislator mempertanyakan keberadaan tidak adanya dasar hukum kepada orang lain? Bukankah seharus dia yang mengatur membuat UU agar masalah ojek online bisa diurai serta diselesaikan?
DPR RI dan Pemerintah bertanggung bertugas membuat UU di negara ini. Marilah buat aturan hukum atau UU yang substansi sesuai kebutuhan untuk masyarakatnya agar terbangun budaya atau kehidupan baru masyarakat. Dalam ilmu hukum dikenal sebuah teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga elemen utama, yaitu: Struktur hukum (legal structure), Substansi hukum (legal substance), Budaya hukum (legal culture). Friedman berpendapat bahwa keberhasilan penegakan hukum untuk mewujudkan tujuan hukum bergantung pada ketiga elemen tersebut.
Friedman menjelaskan mengenai ketiga elemen Sistem Hukum tersebut. Substansi hukum, meliputi isi, perangkat perundang-undangan dan produk hukum berupa regulasi yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum dalam hal ini para pembuat UU atau Legislator.
Struktur hukum, merupakan kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan dalam menegakkan aturan hukum yang dibuat.
Budaya hukum, hasil dari hukum yang hidup (living law) dan dianut dalam suatu masyarakat. Hukum atau UU yang dibuat dijalankan atau ditegakkan secara baik dan konsisten maka akan membangun budaya baru yakni budaya sadar hukum dan budaya tertib hukum serta memberikan kesejahteraan masyarakatnya.
Tujuan hukum adalah untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu hukum
“Ubi societas, ibi ius”:
Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Prinsip ini menunjukkan bahwa hukum atau UU dibuat harus sesuai dengan kebutuhan dan nilai yang hidup di masyarakatnya. Artinya hukum adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Begitulah seharusnya, membuat hukum atau UU adakah dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga isi atau substansi aturan hukum atau UU yang dibuat oleh Legislator harus sesuai kepentingan untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya. Hukum adalah untuk semua tanpa kecuali termasuk kesejahteraan yang dibangun adalah untuk semua. Hukum bagi bisnis ojek online untuk semua masyarakatnya. Dalam bahasa Latin dikatakan, “Ius Omnibus” bahwa pada prinsipnya hukum dibuat dan berlaku sama untuk semua orang tanpa kecuali. Pengakuan hukum adalah untuk melindungi keselamatan seluruh stakeholder bisnis ojek online atau rakyatnya. “Salus populi suprema lex esto”. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Prinsip ini menunjukkan bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Agar tercapai tujuan hukum ini maka hukum yang dibuat harus berlaku secara adil untuk semua. Jadi tidak ada gunanya, upaya mencari celah kelemahan hukum untuk kepentingan kelompok sendiri. Berhentilah menggunakan hukum atau memperdaya hukum untuk kepentingan diri sendiri.
Jakarta, 10 Juli 2025.
Dr. Azas Tigor Nainggolan, SH, MSi, MH.
Analis Kebijakan Transportasi.