Masalah cukai minuman berpemanis dalam kemasan kembali menjadi pembicaraan publik. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Ketua Komisi XI DPR mengingatkan sejak 5 tahun silam telah ada dukungan politik pada pemerintah agar minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) masuk dalam obyek cukai. Diingatkan pula bahwa penetapan obyek cukai bukan semata untuk menambah anggaran pendapatan negara, namun juga sebagai salah satu strategi untuk mengurangi tingkat penderita penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung dan obesitas. Bagaimana perspektif hak asasi dan dampaknya bagi negara.
Hak Asasi Kesehatan / Pengakuan
Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Pengakuan akan hak atas Kesehatan telah dibadankan (dikodifikasi) dalam berbagai instrumen / regulasi, global maupun nasional. Sebut saja Deklarasi Umum HAM, yang dirayakan seluruh dunia setiap tanggal 10 Desember, dan Kovenan Internasional Hak Sosial Ekonomi dan Budaya, Konvensi Hak Anak, maupun CEDAW, yang telah menjadi hukum nasional melalui berbagai ratifikasi. Intinya adalah bahwa ‘setiap orang berhak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai, baik fisik maupun mental sepanjan perjalanan hidup, dan bukan sebatas bebas dari sakit (lihat WHO). Semangat yang sama juga dapat ditemukan pada Konstitusi RI, UU Kesehatan No.17/2023 mengenai hak atas Kesehatan dan UU HAM.
Hak ini bersifat fundamental bagi pemenuhan hak atas kehidupan; menjangkau dan memengaruhi pemenuhan sejumlah hak asasi. Hak ini fundamental bagi anak, bagi tahanan, pekerja migran maupun pengungsi. Ambil contoh berikut. Kepentingan terbesar anak tidak mungkin tercapai jika kesehatan anak tidak tercapai, baik karena rendahnya nutrisi, terpaparnya anak dari makanan tidak sehat, maupun resiko penyakit lain. Demikian juga bagi Perempuan. Mudah dibayangkan fundamennya hak ini bagi ibu hamil – maupun bagi reproduksi perempuan. Pemenuhan hak ini berpengaruh pada dan dipengaruhi oleh pemenuhan hak lain, seperti hak atas pangan, tempat tinggal, dan informasi. Sebut saja hak kerja. Kondisi kerja yang buruk berdampak pada kesehatan pekerja dan sebaliknya kinerja pekerja yang tidak sehat pada umumnya lebih rendah daripada yang sehat.
Berbagai regulasi menunjukan bahwa Indonesia telah mengambil sejumlah langkah lebih jauh dari sekedar pengakuan hak atas kesehatan. Regulasi-regulasi itu mencakup pula aspek pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak. Misalnya terdapat larangan untuk memproduksi, memasarkan, dan mendistribusi makanan dan minuman tidak sehat; dan ketentuan mengenai pengawasan, pembatasan, pelarangan, dan pengenaan tarif atas produk-produk yang mengandung zat berisiko bagi kesehatan. Pasal 146 (1) UU 17 / Tahun 2023 Tentang Kesehatan menentukan “Setiap orang yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, mutu, dan gizi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meningkatnya PTM
Meski berbagai regulasi tersebut memberi dasar untuk melakukan berbagai upaya pencegahan peningkatan jumlah pasien penyakit tidak menular (PTM), potret kesehatan publik cukup mencemaskan. Menurut Kementerian Kesehatan PTM bertanggung jawab atas 75% kematian di Indonesia. Kecenderungan itu berpotensi terus terjadi. Lihatlah temuan Riset Kesehatan Dasar, (tahun.. sumber) yang menyebutkan 1 dari 3 orang di Indonesia mengalami obesitas atau sekitar 93 juta orang Indonesia obes. Lebih menukik lagi, 1 dari 5 Anak Indonesia mengalami obesitas. Kita ketahui bersama bahwa obesitas berkait erat dengan diabetes tipe 2, dan di Indonesia orang dengan obesitas meningkat 100% dalam waktu 1 dekade (2013 – 2023). Tidak mengherankan “hasilnya” dalam peta global, Indonesia berada di posisi 5 terbesar penderita diabetes usia dewasa yakni 19.5 juta jiwa pada 2021.
Meningkatnya resiko PTM menggarisbawahi pentingnya dilakukan berbagai upaya pencegahan yang strategis, yakni terciptanya lingkungan makanan sehat. Asupan makanan dan minuman gula, garam dan lemat (GGL) merupakan faktor-faktor resiko atas makanan tidak sehat, karena menimbulkan resiko besar terhadap obesitas dan PTM. Sayangnya, survei Kesehatan Indonesia, pada 2023, melaporkan bahwa 47.5% penduduk Indonesia mengkonsumsi lebih dari 1 minuman berpemanis dalam 1 hari. Dan, kemungkinan untuk memperoleh makanan dan minuman tinggi GGL bukan saja tersedia luas juga dapat dibeli dengan harga murah di seluruh Indonesia. Anak-anak maupun orang dewasa sangat mudah terpapar terhadap makanan dan minuman tersebut dalam bentuk kemasan. Misalnya penjualan MBDK dalam ukuran gelas kecil (180 ml) dengan harga Rp. 1000 setiap gelasnya mudah ditemukan di daerah-daerah pelosok. Artinya ancaman tidak terpenuhinya hak atas makanan sehat tinggi. Oleh karena itu, sangat mendesak adanya kendali atas konsumsi MBDK.
Cukai MBDK
Negara memikul tanggung jawab HAM untuk mencegah dan memenuhi hak Kesehatan termasuk hak atas pangan yang sehat. Pasal 28 I (4) UUD 1945 menegaskan tanggung jawab utama HAM terletak pada pemerintah. Kewajiban tersebut mencakup menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia (Pasal 8 jo 71 UU HAM No. 39/1998). Sesungguhnya pajak terhadap minuman berpemanis merupakan penerapan kewajiban-kewajiban negara atas HAM. Berikut penjelasannya. Sebagai negara pihak dari KIHESB negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk pengembangan sumber-sumber daya yang tersedia untuk merealisasikan hak tersebut, Sehubungan dengan hal ini, Komentar Umum 14 dari Komite Hak-hak Ekonomi Sosial dan budaya mengundang negara-negara untuk mencegah konsumsi zat-zat berbahaya termasuk makanan dan minuman tidak sehat. Seperti kita ketahui Komentar Umum merupakan salah satu mekanisme hak asasi manusia yang digunakan sebagai rujukan oleh negara pihak untuk memaknai lebih lanjut klausul dalam konvensi.
Seiring dengan pendapat ini, Pelapor Khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrim (namanya, tahun) menyatakan bahwa penerapan cukai MBDK merupakan upaya negara mencegah pola konsumsi yang tidak sehat sambil menghasilkan pendapatan. Tentunya, sebagaimana direkomendasikan oleh Koalisi PASTI, pendapatan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan kesehatan public, khususnya pencegahan meningkatnya PTM. Sebagai contoh, untuk kampanye public pencegahan konsumsi minuman berpemanis dan pencegahan terjadinya obesitas lainnya, atau diinvestasikan kembali pada promosi kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian sebagaimana diindikasikan Pelapor Khusus PBB untuk Hak Atas Kesehatan, penerapan cukai pada MBDK adalah bagian dari pemenuhan kewajiban negara untuk melindungi warga dari minuman tidak sehat. Pelapor Khusus PBB tersebut mengatakan bahwa ketika pendapatan yang diperoleh dari pajak digunakan untuk mendukung pemenuhan secara bertahap hak atas kesehaan dan hak akan makanan yang cukup (adequate) maka negara telah menggunakan sumber -sumber daya tambahan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban HAM nya.
Singkatnya cukai MBDK merupakan realisasi kewajiban negara karena dapat menciptakan lingkungan yang baik bagi pemenuhan hak-hak atas kesehatan termasuk nutrisi yang cukup serta melindungi warga termasuk anak sekolah dan kelompok Masyarakat rentan dari konsumsi minuman tidak sehat (kewajiban melindungi). Cukai MBDK merupakan realisasi kewajiban negara untuk menyediakan sumber-sumber daya secara maksimal dan cukai MBDK merupakan realilsasi kewajiban negara untuk memenuhi hak atas keseahatan baik dengan Tindakan maupun secara bertahap berdasarkan hasil.
Dalam kenyataannya, penerapan cukai pada makanan dan minuman yang mengandung GGL tinggi bukan hal baru. Indonesia, justru ketinggalan dibanding sejumlah negara ASEAN lainnya, seperti Brunei Darrusalan, Malaysia, Filipina dan Thailand yang telah menerapkan cukai MBDK (Murwendah & Salsabila 2024). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dimana Indonesia adalah salah satu anggotanya, telah mengkonfirmasi bahwa ‘minuman berpemanis berkontribusi pada malnutrisi, obesitas dan PTM serta mendorong negara-negara agar mengendalikan konsumsi minuman berpemanis dengan kebijakan cukai. Berbagai pengalaman menunjukan bahwa penerapan cukai MBDK dapat mengurangi konsumsi minuman berpemanis hingga 17.5%. Di Inggris, penerapan cukai mengakibatkan penurunan konsumsi antara 8% – 10 %, di Meksiko untuk daerah terpencil mengakibatkan penurunan konsumsi sebesar 4% & 63% untuk daerah urban, dan di Philadelphia AS penurunan penjualan sebesar 39%.
Sayangnya sekalipun telah disadari peran strategis dari cukai MBDK bagi penurunan konsumsi/ asupan minuman berpemanis bahakn sejak lima tahun silam penerapan aturan dan penerapan cukai tidak kunjung direalisasi. Banyak alasan yang diungkap. Padahal semakin lama tidak diterapkan semakin besar potensi korban berjatuhan. Negara jangan setengah hati, karena ‘common ground’ sudah jelas yaitu pemenuhan kesehatan terbaik bagi semua warga. Dengan dasar ini maka pengambilan keputusan harus bebas dari berbagai benturan kepentingan termasuk dan terutama dari kepentingan mengejar keuntungan dari penjualan MBDK.
Antonio Prajasto H
17 Mei 2025