Hancurnya Peradilan Indonesia.

Para Hakim Terima Suap Menjual Putusan Pengadilan. 

Ada banyak pengalaman saya sebagai advokat yang selalu digoda dan ditekan oleh hakim  untuk membayar mengatur penanganan perkara. Jika saya penuhi permintaan hakim itu saya akan mendapatkan putusan pengadilan sesuai permintaan. Jika tidak memenuhi permintaan hakim, sering juga melalui panitera maka kita akan dikalahkan dalam putusan hakim. Seringkali saya dalam menangani perkara yang jelas-jelas kasus publik dan Pro Bono sekalipun hakim meminta jatah uang suap kepada saya sebagai advokat pendamping klien. Padahal hakim tersebut mengetahui dan saya katakan bahwa perkara ini saya kerjakan secara Pro Bono. Tetap saja berusaha keras agar klien saya memberikan sejumlah uang dan saya tetap menolak. 

Ternyata memang rusaknya sistem  peradilan Indonesia sudah sejak lama dirusak dari dalam. Perusaknya adalah para hakim, hakim agung dan pejabat peradilan. Mereka sendirilah yang merusak dan merobohkan peradilan Indonesia. Sistem Peradilan Indonesia memang sudah hancur dengan adanya ratusan hakim bermasalah dan melakukan korupsi, menerima gratifikasi atau suap menjual putusan perkara. Kehancurannya dari dalam, yakni para hakimnya sendiri dan ada ratusan orang hakim bermasalah di dalam sistem peradilan Indonesia.  Menurut data MA pada akhir tahun 2024 saja MA memberi sanksi pada 206 orang hakim dan aparatur peradilan sepanjang tahun 2024.

Ketua Mahkamah Agung Sunarto ketika itu memaparkan data kinerja lembaga peradilan  pada acara Refleksi Akhir Tahun Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pimpinan Mahkamah Agung (MA) telah menjatuhkan sanksi kepada 206 hakim dan aparatur peradilan sepanjang tahun 2024, dengan rincian 79 orang dijatuhi sanksi berat, 31 sanksi sedang, dan 96 sanksi ringan. Tetapi tidak jelas siapa dan seperti apa sanksi yang diberikan pada para hakim oleh MA. Artinya hanya informasi saja ada penindakan dan sanksi tetapi tidak terbuka atau MA juga tetap melindungi hakim bermasalah.

Ketua MA juga menjelaskan bahwa Badan Pengawasan MA tercatat menerima sebanyak 4.313 pengaduan pada tahun 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.116 pengaduan atau 95,4 persen telah selesai diproses, sementara 197 sisanya masih dalam penanganan. Selain itu jumlah usul penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial (KY) periode 2024 berjumlah 35 usulan laporan hasil pemeriksaan (LHP), dengan jumlah hakim yang diusulkan untuk dijatuhi sanksi hukuman disiplin mencapai 63 orang. Lagi-lagi MA tidak menjelaskan dan tidak membuka siapa saja para hakim bermasalah itu. Sepertinya MA memberikan hak istimewa dan kekebalan kepada para hakim bermasalah dengan menyembunyikan informasi fakta sebenarnya kelakuan koruptif atau para hakim menerima suap.

Akibatnya ada hakim atau pejabat MA yang tambah berani melakukan tindakan korupsi menjual putusan karena dirinya akan tetap aman ditutupi oleh MA kelakuan koruptifnya walaupun ada laporan atau pengaduan dari masyarakat. Salah satu kasusnya adalah seorang pejabat di MA yang selama 10 tahun menjadi makelar kasus dan menjual putusan. Pejabat MA itu eks Kepala Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung bernama Zarif Ricar yang menjadi penghubung dan melobi  hakim agung untuk putusan kasus Ronald Tanur yang membunuh kekasihnya Dini Sera di Surabaya.  Zarof Ricar ditangkap pada Kamis, 24 Oktober 2024,  diminta advokat pembela  Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk melobi hakim agung yang menangani perkara kasasi pembunuhan Dini Sera agar putusan kasasi MA memperkuat putusan PN Surabaya yang membebaskan Ronald Tanur. Kejaksaan Agung mendapatkan barang bukti uang tunai dan logam mulia yang didapat dari eks pejabat Mahkamah Agung, ZR yang nilai hampir Rp 1 Triliun. Dalam kasus ini Kejaksaan Agung juga menetapkan empat orang tersangka dalam kasus itu yakni tiga hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik (ED), Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH). Kemudian, satu orang tersangka lainnya Lisa Rahmat (LR), pengacara Ronald Tannur sebagai pemberi suap.

Tertutupnya MA dalam menangani kasus hakim bermasalah ini juga berakibat ada hakim yang bejat dan nekat menjual putusan perkara bebas  yang seharusnya terang benderang harusnya dihukum. Baru-baru ini diungkap oleh Kejaksaan Agung adanya suap Rp 60 miliar kepada para hakim PN Jakarta Pusat.  Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap terdakwa korporasi sempat menyediakan uang suap Rp 20 miliar agar vonis lepas di kasus korupsi ekspor crude oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng. Tetapi  Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta (MAN) saat menangani perkara ini adalah wakil ketua PN Jakarta Pusat meminta Rp 60 miliar. MSY selaku social security legal Wilmar Group telah menyediakan uang suap untuk para hakim yang disediakan pihak korporasi sebesar 20 M.  Permintaan ini disampaikan kedua advokat korporasi, Ariyanto Marcella Santoso Kepada  MSY selaku social security legal Wilmar Group. 

Kejagung dalam perkara jual beli putusan pengadilan di PN Jakarta Pusat telah menetapkan sebanyak 8 orang tersangka:

1.⁠ ⁠Muhammad Arif Nuryanto (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)

2.⁠ ⁠Djuyamto (DJU) selaku ketua majelis hakim

3.⁠ ⁠Agam Syarif Baharudin (ASB) selaku anggota majelis hakim

4.⁠ ⁠Ali Muhtarom (AM) selaku anggota majelis hakim

5.⁠ ⁠Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera

6.⁠ ⁠Marcella Santoso (MS) selaku advokat.

7.⁠ ⁠Ariyanto Bakri (AR) selaku advokat.

8. MSY selaku social security legal Wilmar Group. 

Bayangkan saja dalam perkara ini justru  mengangkat Muhammad Arif Nuryanto (MAN) yang menjual putusan saat itu wakil ketua PN Jakarta Pusat justru diangkat menjadi  Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Kenapa bisa begitu? Bisa jadi ada juga setoran ke hakim atau pejabat Mahkamah Agung sehingga mengangkat Muhammad  Arif Nuryanto menjadi ketua PN Jakarta Selatan. Jika demikian pemeriksaan juga harus dikembangkan kepada pejabat dan hakim agung dalam proses pengangkatan Muhammad Arif Nuryanto ada terima bayaran atau sogokan?

Melihat kondisi kotor dan busuknya para hakim, hakim agung, pejabat pengadilan hingga Mahkamah Agung, langkah pertama perlu dilakukan tindakan progresif yakni mengganti semua hakim agung dan komisi yudisial karena sudah gagal menjaga sistem peradilan Indonesia. Langkah kedua mengumumkan semua hakim bermasalah dan jenis kesalahannya secara terbuka kepada publik agar menjadi kontrol publik dan efek jera bagi para hakim juga pejabat di lingkungan peradilan. 

Jakarta, 27 April 2025

Dr. Azas Tigor Nainggolan, SH, MSi, MH.

Advokat di Jakarta